Kamis, 04 Juni 2009

Menyoal Kejujuran di Pelaksanaan Ujian Nasional 2009


Oleh : Eddy Soejanto

Benarkah kejujuran sudah mulai jarang dijumpai dalam dunia pendidikan? Mungkin jawaban mengiyakan segera dilontarkan tanpa ragu lagi. Sebab, semua bisa disimpulkan dari gempuran berbagai berita di media massa, yang seakan sudah tidak pernah merasa sungkan menelanjangi fakta keburukan perilaku oknum-oknum guru, kepala sekolah, dan murid-muridnya, selama menghadapi pelaksanaan ujian nasional.

Disayangkan, sekokoh apapun keprofesian guru harus tegak, berhiaskan idealisme dan moral yang begitu mulia, toh gampang meleleh juga di tangan oknum guru dan atasannya terkena kobaran api perasaan was-was atas kegagalan murid-murid mereka dalam menempuh ujian nasional. Tekanan tersebut menjadi alasan mereka untuk mengoperasikan proses culas mendongkrak persentase keberhasilan dalam kelulusan.

Bukankah ini sama artinya dengan merusak nilai-nilai luhur yang mesti diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya? Atau, apakah karena cara-cara melaksanakan ujian nasional dengan penuh kejujuran sudah dianggap kedaluwarsa, sehingga dibuang begitu saja?
Fenomena ketakutan tidak mampu meluluskan siswa 100% dalam ujian nasional, benar-benar mampu memicu ledakan ketidakjujuran itu. Peristiwa kegagalan ditanggapi sebagai sebuah aib atas prestasi, sebagai ketidakbecusan guru dan atasannya. Pokoknya dunia pendidikan masih tabu dengan kegagalan.

Murid yang tidak lulus ujian nasional dijadikan kambing hitam atas buruknya kualitas sekolah, sebab semua pemangku kepentingan menilai tingkat kelulusan 100% adalah wujud kesuksesan dan prestasi sekolah tersebut. Mereka tidak mau memandang walau dengan sebelah mata, atas tersajinya panorama indah dari sebuah proses pelaksanaan ujian nasional secara jujur, walaupun dengan ini dapat dipastikan bakal ada murid yang tidak lulus.

Pemerintah pun tidak tinggal diam. Upaya memperbaiki sistem pengawasan ujian nasional tahun 2009, dilakukan dengan menerjunkan dosen-dosen PTN guna mendampingi guru pengawas di ruang ujian. Tapi niat bagus ini ternyata gagal atau digagalkan oleh minimnya dana. Setidak-tidaknya itu terjadi di Jawa Timur.

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya yang ditunjuk sebagai koordinator pengawas Ujian Nasional tingkat SMA/MA menyatakan tidak dapat menjamin Ujian Nasional berlangsung dengan jujur.”Pasalnya, kami ditunjuk menjadi koordinator pengawas dengan diberi dana Rp8,247 miliar untuk Jatim, sedangkan secara nasional mencapai Rp83 miliar, padahal kebutuhan kami 2,5 kali lipat dari jumlah itu atau sekitar Rp20 miliar untuk Jatim,” kata Rektor ITS Surabaya Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD di Surabaya, Senin, 16 Maret 2009 (Republika)
Oleh karena itu, katanya, pihaknya tidak akan dapat menjamin Ujian Nasional untuk SMA/MA pada tahun 2009 akan berlangsung secara fair. “Karena itu, hasil Ujian Nasional 2009 tidak akan dapat dijadikan acuan untuk masuk PT, sebab kami hanya melakukan pemindaian, bukan skoring,” katanya.

Sejujurnya, kalangan SMA/MA terkesan tidak begitu menghendaki kehadiran dosen-dosen PTN untuk menjadi pengawas dalam Ujian Nasional. Apakah ini dampak dari sikap terbiasa dengan ketidakjujuran itu? Kenapa pemerintah harus mengalokasikan dana miliaran rupiah untuk mewujudkan kejujuran itu? Demikian mahalkah harga sebuah kejujuran dalam pelaksanaan sebuah ujian nasional?

panyaruwe.wordpress.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar